Minggu, 31 Mei 2015

Sepi di Hari Senja



Kini anak-anakmu sudah beranjak dewasa. Dulu anakmu yang masih kau gendong, kau suapi, kau ajarkan jalan, kau ajarkan berbicara, kau ajarkan semua hal tentang dunia, kini telah beranjak dewasa. Begitu besar jasamu Ibu. Meskipun kau hanya seorang diri membesarkan anakmu yang berjumlah 6 orang, karena suamimu—ayah kami telah dahulu menghadap yang kuasa. Di saat si bungsu masih erat dipelukanmu, masih membutuhkan kasih sayang ayahnya, beliau pergi menghadap yang kuasa. Peranmu waktu itu, bukan lagi seorang ibu, disaat yang sama kau akan menjadi ayah dan juga menjadi Ibu, single parent kata orang zaman sekarang.


Dengan batin yang masih terguncang, kau harus berdiri kokoh untuk mendidik, menjaga, dan melanjutkan hidup bersama anak-anakmu. Meskipun banyak saudara-saudaramu yang menginginkan untuk membawa kami dan mendidik kami—memisahkan kami denganmu, kau tetap teguhkan diri untuk mampu menjaga dan mendidik kami. Dengan semangatmu yang masih lemah, kau pandangi anak-anakmu, kau bulatkan tekad untuk menjalani hidup dengan 6 anakmu Ibu.

Berbagai macam cara kau lakukan untuk menghidupi kami, agar gerobak tetap berjalan, agar tungku tetap berasap. Kau mulai dengan menjual hasil-hasil ladang, tapi kau tidak terlalu berfikir itu bisa menghidupi kami. Akhirnya kau putuskan untuk membuat kue basah, sembari tetap menjual hasil ladang yang tak seberapa. Untuk membuat kue basah ini, kau harus tetap terbangun—begadang agar kue yang dihasilkan tetap enak. Kau tidak tidur lebih dari 24 jam, hanya untuk kami. Hanya satu yang kau inginkan, anak-anakmu tetap bisa melanjutkan pendidikan. Meskipun sebagian besar anakmu hanya bisa sampai tingkat SMA sederajat, kami tetap bersyukur ibu. Hanya dengan tenagamu seorang diri, kau tetap mengedepankan pendidikan kami.

Tak hanya itu, kau tidak hanya mementingkan itu, kau juga memberikan hiburan dan baju baru untuk kami. Meskipun kau hanya seorang diri, kau tetap mampu membelikan baju baru untuk kami, kau tetap bisa mengajak kami liburan. Kau tetap menginginkan apa yang dirasakan orang lain juga dirasakan oleh anak-anakmu. Karena kau yakin, rezeki anak-anakmu tidak akan habis, selagi kau dan kami berusaha mencari rezeki di bumiNya. Kau selalu yakin dengan itu, Dia selalu bersama kita. Meskipun, terkadang ada kesulitan ekonomi tak dapat dihindari, selalu saja jalan keluar dari masalah tersebut.

Selama lebih 20 tahun, kau geluti profesimu membuat kue basah—begadang. Kini tenagamu sudah tak sama lagi, kini usiamu sudah tak sama lagi. Sekali saja kau begadang Ibu, kondisi fisikmu sudah tak kuat lagi, karena setelah itu kau akan sakit. Karena itu, dengarkan kami Ibu, janganlah lagi kau begadang. Kini anak-anakmu sudah tidak kecil kagi, anak-anakmu sudah besar, sudah memulai keluarga baru, sudah bekerja, dan anakmu yang sedang melanjutkan pendidikannya. Dengan pertimbangan ini, kau dengarkan kami. Meskipun kami tau, kau tak akan bisa diam. Tapi tak apa, meskipun kau ke sawah dan ke ladang, setidaknya kau bisa beristirahat di malam hari, kini makanmu sudah teratur, dan badanmu sudah sehat.

Tapi, maafkan kami Ibu. Di hari senjamu kini, kau hampir setiap hari merasakan sepi. Meskipun 2 anakmu di rumah, mereka memiliki kesibukan masing-masing. Anakmu yang laki-laki, harus bekerja dari pagi hingga petang, kau hanya bisa melihatnya di pagi hari dan petang saat pulang, serta bisa bertatap muka di saat makan malam. Sedangkan, si bungsu—anak perempuanmu, yang biasa menemanimu, kini tengah mempersiapkan diri untuk ujian memasuki perguruan tinggi. Sedangkan, kami yang jarang pulang, disaat sesekali pulang, kami hanya bisa bercengkrama sesaat denganmu. Dan terkadang kami hanya pergi memasuki kamar dan berjibaku dengan gadget dan laptop yang kami miliki. Maafkan kami Ibu.

Ku harap, kau selalu sehat dan diberikan umur panjang oleh ALLAH SWT. Dan maafkan kami Ibu, kami akan berusaha lebih baik lagi kedepannya.
Kau telah berhasil mendidik dan membesarkan anakmu Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar