Kini anak-anakmu sudah beranjak dewasa. Dulu
anakmu yang masih kau gendong, kau suapi, kau ajarkan jalan, kau ajarkan
berbicara, kau ajarkan semua hal tentang dunia, kini telah beranjak dewasa. Begitu
besar jasamu Ibu. Meskipun kau hanya seorang diri membesarkan anakmu yang
berjumlah 6 orang, karena suamimu—ayah kami telah dahulu menghadap yang kuasa. Di
saat si bungsu masih erat dipelukanmu, masih membutuhkan kasih sayang ayahnya,
beliau pergi menghadap yang kuasa. Peranmu waktu itu, bukan lagi seorang ibu,
disaat yang sama kau akan menjadi ayah dan juga menjadi Ibu, single parent kata orang zaman sekarang.
Dengan batin yang masih terguncang, kau
harus berdiri kokoh untuk mendidik, menjaga, dan melanjutkan hidup bersama
anak-anakmu. Meskipun banyak saudara-saudaramu yang menginginkan untuk membawa
kami dan mendidik kami—memisahkan kami denganmu, kau tetap teguhkan diri untuk
mampu menjaga dan mendidik kami. Dengan semangatmu yang masih lemah, kau
pandangi anak-anakmu, kau bulatkan tekad untuk menjalani hidup dengan 6 anakmu
Ibu.
Berbagai macam cara kau lakukan untuk
menghidupi kami, agar gerobak tetap berjalan, agar tungku tetap berasap. Kau mulai
dengan menjual hasil-hasil ladang, tapi kau tidak terlalu berfikir itu bisa
menghidupi kami. Akhirnya kau putuskan untuk membuat kue basah, sembari tetap
menjual hasil ladang yang tak seberapa. Untuk membuat kue basah ini, kau harus
tetap terbangun—begadang agar kue yang dihasilkan tetap enak. Kau tidak tidur
lebih dari 24 jam, hanya untuk kami. Hanya satu yang kau inginkan, anak-anakmu
tetap bisa melanjutkan pendidikan. Meskipun sebagian besar anakmu hanya bisa
sampai tingkat SMA sederajat, kami tetap bersyukur ibu. Hanya dengan tenagamu
seorang diri, kau tetap mengedepankan pendidikan kami.
Tak hanya itu, kau tidak hanya
mementingkan itu, kau juga memberikan hiburan dan baju baru untuk kami. Meskipun
kau hanya seorang diri, kau tetap mampu membelikan baju baru untuk kami, kau
tetap bisa mengajak kami liburan. Kau tetap menginginkan apa yang dirasakan
orang lain juga dirasakan oleh anak-anakmu. Karena kau yakin, rezeki
anak-anakmu tidak akan habis, selagi kau dan kami berusaha mencari rezeki di
bumiNya. Kau selalu yakin dengan itu, Dia selalu bersama kita. Meskipun,
terkadang ada kesulitan ekonomi tak dapat dihindari, selalu saja jalan keluar
dari masalah tersebut.
Selama lebih 20 tahun, kau geluti
profesimu membuat kue basah—begadang. Kini tenagamu sudah tak sama lagi, kini
usiamu sudah tak sama lagi. Sekali saja kau begadang Ibu, kondisi fisikmu sudah
tak kuat lagi, karena setelah itu kau akan sakit. Karena itu, dengarkan kami
Ibu, janganlah lagi kau begadang. Kini anak-anakmu sudah tidak kecil kagi,
anak-anakmu sudah besar, sudah memulai keluarga baru, sudah bekerja, dan anakmu
yang sedang melanjutkan pendidikannya. Dengan pertimbangan ini, kau dengarkan
kami. Meskipun kami tau, kau tak akan bisa diam. Tapi tak apa, meskipun kau ke
sawah dan ke ladang, setidaknya kau bisa beristirahat di malam hari, kini
makanmu sudah teratur, dan badanmu sudah sehat.
Tapi, maafkan kami Ibu. Di hari senjamu
kini, kau hampir setiap hari merasakan sepi. Meskipun 2 anakmu di rumah, mereka
memiliki kesibukan masing-masing. Anakmu yang laki-laki, harus bekerja dari
pagi hingga petang, kau hanya bisa melihatnya di pagi hari dan petang saat
pulang, serta bisa bertatap muka di saat makan malam. Sedangkan, si bungsu—anak
perempuanmu, yang biasa menemanimu, kini tengah mempersiapkan diri untuk ujian
memasuki perguruan tinggi. Sedangkan, kami yang jarang pulang, disaat sesekali
pulang, kami hanya bisa bercengkrama sesaat denganmu. Dan terkadang kami hanya
pergi memasuki kamar dan berjibaku dengan gadget dan laptop yang kami miliki. Maafkan
kami Ibu.
Ku harap, kau selalu sehat dan diberikan
umur panjang oleh ALLAH SWT. Dan maafkan kami Ibu, kami akan berusaha lebih
baik lagi kedepannya.
Kau telah berhasil mendidik
dan membesarkan anakmu Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar